Ketika Resolusi Menjadi Ilusi: Fenomena ‘New Year, New Mental Issues’
Setiap tahun baru tiba, banyak orang merasa terdorong untuk menetapkan resolusi. Dari ingin hidup lebih sehat, lebih sukses, hingga lebih bahagia, berbagai target ambisius dibuat dengan harapan membawa perubahan positif. Namun, di balik semangat ini, muncul fenomena "New Year, New Mental Issues", di mana tekanan untuk berubah justru berujung pada kecemasan, stres, bahkan kelelahan mental.
![]() |
Ketika Resolusi Menjadi Ilusi: Fenomena ‘New Year, New Mental Issues’ |
Banyak orang menganggap tahun baru sebagai titik awal untuk memperbaiki diri. Namun, sering kali resolusi yang dibuat tidak didasarkan pada kebutuhan pribadi, melainkan tuntutan sosial dan tren yang berkembang. Alih-alih fokus pada pertumbuhan diri yang nyata, banyak individu malah merasa terjebak dalam ekspektasi yang sulit dicapai. Ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan, muncul rasa kecewa dan frustrasi.
Salah satu faktor yang memperburuk fenomena ini adalah media sosial. Setiap awal tahun, timeline dipenuhi dengan unggahan tentang rencana ambisius, transformasi pribadi, dan pencapaian orang lain. Tanpa disadari, ini menciptakan tekanan sosial untuk ikut serta dalam ‘perlombaan perubahan’, meskipun seseorang belum siap secara mental atau emosional.
Tekanan ini semakin berat dengan konsep "toxic positivity", di mana seseorang merasa harus selalu optimis dan produktif sepanjang waktu. Mereka menekan perasaan negatif dan memaksakan diri untuk terus maju, meskipun kondisi mental mereka sedang tidak stabil. Akibatnya, banyak yang mengalami burnout lebih awal karena memaksakan resolusi yang tidak sesuai dengan kapasitas mereka.
Selain itu, kebanyakan resolusi dibuat dalam bentuk target yang terlalu besar dan sulit dicapai dalam waktu singkat. Misalnya, seseorang ingin menurunkan berat badan 10 kg dalam sebulan atau langsung mencapai kebebasan finansial dalam waktu satu tahun. Target yang tidak realistis ini sering kali berujung pada kegagalan, yang justru merusak rasa percaya diri dan memperburuk kondisi mental.
Untuk menghindari jebakan resolusi tahun baru, penting untuk memahami bahwa perubahan tidak harus terjadi secara drastis. Pendekatan yang lebih fleksibel dan realistis akan membantu seseorang mencapai tujuan tanpa merasa terbebani. Misalnya, daripada menetapkan target besar, lebih baik memecahnya menjadi langkah-langkah kecil yang lebih mudah dikelola.
Selain itu, mengurangi konsumsi media sosial dan berhenti membandingkan diri dengan orang lain bisa menjadi langkah efektif dalam menjaga kesehatan mental. Setiap individu memiliki perjalanan dan waktu mereka sendiri, sehingga tidak perlu merasa tertinggal hanya karena orang lain terlihat lebih maju. Fokus pada progres diri sendiri jauh lebih penting daripada mengikuti standar kesuksesan orang lain.
Penting juga untuk mengingat bahwa tidak apa-apa jika seseorang tidak memiliki resolusi tahun baru. Tidak ada aturan yang mengatakan bahwa seseorang harus berubah setiap awal tahun. Jika tekanan untuk menetapkan target hanya menambah kecemasan, lebih baik fokus pada kesejahteraan mental dan emosional daripada mengejar sesuatu yang belum tentu dibutuhkan.
Dukungan sosial juga memainkan peran besar dalam membantu seseorang menghadapi tekanan resolusi tahun baru. Berbagi cerita dengan teman, keluarga, atau bahkan profesional dapat membantu seseorang merasa lebih tenang dan mendapatkan perspektif yang lebih sehat. Tidak semua perubahan harus dilakukan sendirian, dan memiliki support system bisa sangat membantu dalam menjalani tahun yang baru.
Pada akhirnya, tahun baru bukanlah tentang menjadi versi baru dari diri sendiri, tetapi tentang bagaimana kita bisa hidup dengan lebih bahagia dan damai. Daripada terjebak dalam ilusi resolusi yang terlalu tinggi, lebih baik menikmati perjalanan hidup dengan penuh kesadaran dan menerima diri sendiri apa adanya. Dengan begitu, kita bisa memasuki tahun yang baru dengan lebih ringan dan tanpa tekanan yang berlebihan.